Pembentukan Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia Jakarta, 4 Juli 2014

Untuk memperingati Tahun Internasional Pertanian Keluarga 2014 (International Year for Family Farming 2014), pada tanggal 4 Juli 2014, berlangsung sebuah peristiwa yang menjadi cikal bakal terbentuknya sebuah aliansi nasional yang belakangan diberi nama Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia. Pembentukan aliansi tersebut berawal dari sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh Aliansi Petani Indonesia (API) di Hostel Pradana, Jakarta Selatan. Lokakarya tersebut dihadiri oleh organisasi- organisasi petani, perempuan, nelayan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan individu/akademisi. Mereka adalah SPPQT (Serikat Petani Paguyuban Qoriyah Tayyibah), AOI (Aliansi Organis Indonesia), BPRPI, Puantani, WAMTI (Wahana Tani dan Nelayan Indonesia), SNI (Serikat Nelayan Indonesi), Petani Mandiri, Bina Desa, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), API (Aliansi Petani Indonesia), HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), SPI (Serikat Petani Indonesia), Slow Food- Jabodetabek, PSEKP (Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Pertanian), APBMI (Asosiasi Petani Bawang Merah Indonesian), FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), APPI (Aliansi Perempuan Petani Indonesia).

5/18/20253 min read

Latar Belakang

Sekitar 3 miliar penduduk dunia tinggal di daerah pedesaan (Bank Dunia, 2007).

Kebanyakan dari penduduk dunia itu berasal dari keluarga yang melakukan kegiatan

pertanian, disebut juga pertanian keluarga (Family Farming), di mana baik suami

dan/atau istri secara bersama-sama dengan anggota rumahtangga lainnya terlibat

secara langsung dalam proses produksi dan kegiatan lain di pertanian, dan di mana

kegiatan pertanian/peternakan/perikanan/kehutanan itu menjadi sumber utama mata

pencaharian keluarga. Seringkali keluarga-keluarga itu terbatas aksesnya ke lahan dan

modal serta teknologi yang diperlukan untuk menjadikan pertanian sebagai upaya yang

berarti (layak dan bermartabat).

Sekitar 1,5 miliar perempuan dan laki-laki petani hidup dari 404 juta lahan pertanian

kecil, yang kurang dari 2 hektar (IAASTD, 2009); 410 juta orang mengumpulkan hasil

hutan dan padang rumput (ETC, 2009), sementara 100-200 juta menjadi penggembala

(CBD, 2010), dan 100 juta manusia adalah nelayan kecil (Kura dkk,2004), serta 370 juta

lainnya adalah kelompok masyarakat asli (IFAD, 2009) dengan sebagian besar bertani.

Selain itu, 800 juta manusia bertanam di kebun-kebun di perkotaan (World Watch

Institute, 2007).

Pertanian keluarga menghadirkan sebuah nilai yang strategis, karena pertanian

keluarga memiliki fungsi-fungsi ekonomis, sosial, budaya, lingkungan, dan kewilayahan

(teritori). Baik perempuan maupun laki-laki yang terlibat dalam pertanian keluarga

menghasilkan 70% dari pangan dunia. Pertanian keluarga adalah basis produksi pangan

yang berkelanjutan, upaya yang ditujukan untuk mencapai ketahanan pangan dan

kedaulatan pangan, pengelolaan lingkungan lahan dan keanekaragaman hayatinya,

serta menjadi basis pelestarian warisan sosial-budaya yang penting dari bangsa-bangsa

dan komunitas pedesaan.

Maka pada 5-7 Oktober 2011 Final Declaration of Family Farming World Conference

menetapkan tahun 2014 sebagai Tahun Internasional Pertanian Keluarga (International

Year of Family Farming/IYFF), mengingat betapa pentingnya peran Pertanian Keluarga

dalam mengentaskan kemiskinan dunia.

Masalah dan Tantangan yang Dihadapi Pertanian Keluarga

Petani keluarga di seluruh dunia sangat dipengaruhi oleh krisis pangan yang saling

berkaitan dengan krisis keuangan, bahan bakar, dan perubahan iklim. Banyak kebijakan

untuk menjawab krisis tersebut yang tidak menguntungkan dan tidak tanggap terhadap

keadaan terkini petani keluarga. Kebijakan-kebijakan itu tidak dapat mengatasi

persoalan yang didominasi model-model ekonomi dan banyak kebijakan pemerintah

dan organisasi antar pemerintah serta lembaga keuangan internasional yang umumnya

mengabaikan atau bahkan merugikan pertanian keluarga. Pencaplokan lahan yang

marak terjadi hingga kini menjadi ancaman terbesar bagi pertanian keluarga dan

produksi pangan secara berkelanjutan. Banyak pertanian keluarga, termasuk petani

kecil, masyarakat asli, dan penggembala, terampas asetnya melalui “pengambilalihan”

(akuisisi) lahan-lahan mereka untuk dijadikan perkebunan tanaman ekspor untuk

industri dan tanaman pangan. Pertanian keluarga seringkali memiliki akses dan kendali

ke pasar yang sangat terbatas, termasuk informasi pasar, serta memiliki daya tawar

yang lemah atas harga-harga produk mereka. Bahkan pada beberapa tahun belakangan

ini, gejolak kenaikan harga pangan makin memperburuk keadaan.

Perempuan petani memegang peran penting dalam produksi dan penyediaan pangan

bagi keluarga dan komunitas mereka. Mereka menjaga lingkungan dan tradisi, serta

menerapkan teknik-teknik pertanian yang rendah input dan input yang efisien. Para

perempuan adalah pemimpin dalam upaya-upaya pelestarian alam dan sumberdaya

genetika, mulai dari seleksi benih untuk ditanam, panen, penyimpanan, dan prosesnya.

Namun, sumbangsih perempuan sering tidak diperhitungkan, dan kebanyakan

kebijakan dan program pertanian tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan petani.

Perempuan mengalami keterbatasan akses dan kendali atas lahan, akses pasar,

pendidikan dan suara politik mereka dalam organisasi perempuan serta badan-badan

pemerintah. Mereka menghadapi diskriminasi karena jenis kelamin dalam rumah

tangga dan masyarakat di tingkat kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor ini mengurangi

kemampuan perempuan untuk menyumbang dan mengambil manfaat dari

pembangunan pertanian serta memulihkan kerentanan mereka.

Sementara itu, generasi muda kita di pertanian berperan sangat penting bagi

keberlanjutan pertanian di seluruh dunia. Namun pemuda petani ini juga tidak punya

dukungan ekonomi dan pendidikan yang memadai sehingga dapat memotivasi mereka

agar tinggal di desa. Berbagai keterbatasan itu membuat pemuda lebih memilih pindah

dari desa tanpa mampu menyadari keinginan mereka untuk melanjutkan hidup,

menciptakan dan menghasilkan kehidupan di lingkungan mereka sendiri, di pertanian

(disarikan dari Final Declaration of Family Farming World Conference, Feeding the World,

Caring for the Earth, Bilbao, Spanyol, Oktober 5-7, 2011).

Pada 4 Juli 2014, dalam rangka merayakan Tahun Internasional Pertanian Keluarga

(International Year of Family Farming), Aliansi Petani Indonesia menyelenggaraan

sebuah lokakarya yang bertujuan untuk :

1. Mendukung pengembangan kebijakan kondusif untuk keluarga pertanian

berkelanjutan.

2. Meningkatkan pengetahuan, komunikasi dan kesadaran masyarakat tentang

pertanian keluarga, pertanian kecil dan perikanan tradisional dan kontribusi

mereka untuk keamanan pangan, gizi, pengentasan kemiskinan, pertumbuhan

ekonomi, mengentaskan pengangguran dan perbaikan mata pencaharian dan

pembangunan pertanian berkelanjutan.

3. Bersama-sama organisasi tani, LSM, dan akademisi, mengidentifikasi, mengubah

dan mempromosikan dukungan teknis demi tercapai pemahaman yang lebih

baik tentang kebutuhan, potensi dan hambatan dalam pertanian keluarga.

Dari lokakarya tersebut, para peserta berharap dapat

1. Mendorong pemerintah untuk membangun lingkungan yang kondusif seperti

perundang-undangan, perencanaan partisipatif untuk sebuah dialog kebijakan

serta peraturan pendukung lainnya yang mendukung pertanian keluarga di sektor

pertanian.

2. Mendorong terciptanya kesadaran dan pengetahuan kepada masyarakat tentang

keragaman dan kompleksitas dari produksi dan konsumsi di dalam sistem

pertanian keluarga, petani skala kecil dan perikanan tradisional, termasuk peran

perempuan, pemuda di dalam pertanian keluarga. Serta memahami

perkembangan dunia pertanian terkait dengan tantangan dan peluang untuk

mencapai keamanan pangan dan gizi.

3. Terbentuknya Komite Nasional yang terdiri dari organisasi petani, nelayan,

pemuda, LSM, dan individu/akademisi yang mempunyai peran aktif dalam

memajukan Tahun Internasional Pertanian Keluaga 2014.

Pada hari itu, para peserta menyepakati bahwa kegiatan yang terkait pemajuan

Pertanian Keluarga tidak berhenti pada saat selesainya lokakarya pada 4 Juli 2014

tersebut. Pada saat itulah disepakati sebagai awal mula dllaksanakan kegiatan-kegiatan

Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia.