Perempuan dan Kaum Muda, Penentu Masa Depan Pangan Indonesia

Lokakarya ini merupakan kerjasama antara Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Lokakarya ini menjadi ajang penting untuk membicarakan perempuan dan kaum muda bisa benar-benar menjadi penggerak transformasi sistem pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan berbasis pertanian keluarga dan agroekologi.

8/19/20252 min read

Jakarta – Masa depan pangan Indonesia berada di tangan perempuan dan anak muda. Pesan itu mengemuka dalam Lokakarya Strategi dan Pemberdayaan Perempuan dan Kaum Muda dalam Pelaksanaan Kebijakan Pertanian Keluarga Menuju Sistem Pangan Berkelanjutan yang digelar di Menara Bappenas, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Lokakarya ini merupakan kerjasama antara Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) dan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Lokakarya ini menjadi ajang penting untuk membicarakan bagaimana perempuan dan generasi muda bisa benar-benar menjadi penggerak transformasi sistem pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan berbasis pertanian keluarga dan agroekologi.

“Pertanian keluarga adalah tulang punggung pangan kita. Perempuan dan pemuda harus diberi ruang lebih besar, dari produksi sampai pengambilan keputusan,” ujar M. Nur Uddin, Koordinator Majelis Nasional Pertanian Keluarga pada saat membuka lokakarya.

Hal senada diungkapkan oleh perwakilan dari Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Noor Avianto (Direktorat Pangan dan Pertanian). Mewakili Direktur Pangan dan Pertanian, ia menegaskan bahwa regenerasi petani kini menjadi target nasional. “Petani muda harus makin banyak, dan perempuan jangan hanya jadi pelengkap. Mereka kunci modernisasi pertanian kita,” ujarnya.

Dari Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal menekankan pentingnya kolaborasi lintas pihak. “Tanpa perempuan dan anak muda, transformasi pangan tidak akan berhasil,” tegasnya. FAO bahkan membuka peluang hibah untuk petani kecil, khususnya perempuan dan pemuda, agar bisa mengembangkan usaha pertanian mereka.

Lokakarya ini juga menghadirkan kisah nyata dari lapangan. Naning Z. Suprawati, aktivis muda anggota Aliansi Petani Indonesia (API) yang juga koordinator Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Timur, menyoroti minimnya minat generasi muda di sektor pertanian. Ia menyebut, digitalisasi dan wirausaha bisa menjadi pintu masuk agar anak muda mau kembali ke sawah dan ladang. “Kalau tidak ada petani, tidak ada pangan, tidak ada masa depan,” ujarnya.

Dari Kementrian Pertanian, Miko Harjanti memaparkan capaian Program YESS yang berjalan sejak 2019 dan sudah memberdayakan puluhan ribu pemuda desa untuk menjadi wirausaha pertanian, termasuk banyak perempuan muda. Program ini bahkan berhasil meningkatkan pendapatan ribuan keluarga tani di berbagai daerah.

Isu gender juga menjadi sorotan penting dalam lokakarya ini. Perempuan petani masih menghadapi hambatan besar, mulai dari keterbatasan akses lahan, waktu yang terbagi dengan urusan rumah tangga, hingga norma sosial yang membatasi ruang gerak. Padahal, menurut data Badan Pusat (BPS), hanya sekitar 23,9% perempuan tercatat sebagai pemilik lahan pertanian di Indonesia.

Dari sektor kehutanan, Lukmi Purwandari menekankan pentingnya agroforestri, yaitu sistem yang memadukan pertanian dan hutan, dengan melibatkan pemuda dan perempuan. “Hutan bukan hanya sumber pangan, tapi juga masa depan ekosistem. Anak muda dan perempuan bisa jadi agen inovasi,” jelasnya.

Hingga penutupan lokakarya, ada empat kesepakatan utama, yaitu:

  1. Perempuan harus punya akses setara atas lahan, teknologi, dan pembiayaan.

  2. Regenerasi petani harus digarap serius lewat digitalisasi dan wirausaha.

  3. Kolaborasi lintas sektor wajib diperkuat.

  4. Data terpilah gender perlu dipakai sebagai dasar kebijakan.

“Tanpa partisipasi perempuan dan generasi muda, tidak ada pertanian yang berkelanjutan,” tegas Dian Hersinta, mewakili Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas saat menutup lokakarya.